Kamis, 25 Maret 2010

TIRATANA

1. Buddha
Dalam Khuddaka Nikaya Buddha berarti:
a. Ia Sang Penenmu (Bujjhita) kebenaran;
b. Ia yang telah mencapai penerangan sempurna (Buddha);
c. Ia yang memberikan penerangan (Bodhita) dari generasi ke generasi;
d. Ia yang telah mencapai kesempurnaan melalui penembusan, sempurna pengelihatannya, mencapai kesempurnaan tanpa bantuan siapapun.
Tingkat keBuddhaan adalah tingkat pencapaian penerangan sempurna menurut tingkat pencapaiannya. Buddha dibedakan menjadi 3 macam:
a. Samma Sambuddha
Seorang yang telah mencapai penerangan sempurna atau Kebuddhaan dengan usahanya sendiri tanpa bantuan makhluk lain dan mampu mengajarkan ajaran-Nya yang diperoleh-Nya kepada makhluk lain, serta para siswa-Nya ada yang dapat mencapai kesucian batin.
b. Pacceka Buddha
Seorang yang mencapai tingkat kesucian atau kebuddhaan dengan usaha-Nya sendiri tanpa bantuan makhluk lain dan mampu mengajarkan makhluk lain, namun tidak dapat membimbing makhluk lain untuk untuk mencapai kesucian atau ke Ariya puggala.
c. Savaka Buddha
Seorang yang mencapai tingkat Kebuddhaan setelah mendengar dan melaksanakan ajaran dari Samma Sambuddha. Ia dapat mengajarkan ajaran ia peroleh kepada makhluk lain dan para siswanya ada yang dapat mencapai kesucian batin dan menjadi Ariya puggala.

2. Dhamma
Dhamma memiliki arti yang luas. Ada beberapa definisi tentang Dhamma:
a. Definisi menurut Atthakatha
i. Pariyatti atau ajaran yang dirumuskan;
Dalam hal ini, berarti semua ajaran Sang Buddha yang termuat dalam kitab Suci Tri Pitaka.
ii. Hetu atau kondisi, sebab yang bergantungan;
Sebab yang bergantungan ini seperti yang terdapat dalam ungkapan sebagai berikut: “Pengetahuan analasa tentang Dhamma, yang bermakna ‘Pandangan terang tentang kondisi atau sebab yang bergantungan (Vibhanga 293).
iii. Guna, moral atau perbuatan berkualitas;
Perbuatan berkualitas terdapat pada Dhammanussati atau perenungan tentang kebajikan Dhamma.
iv. Nissatta-nijivata
Fenomena sebagai lawan dari substansial (noumena). Segala sesuatu yang berfenomena disebut Dhamma. Namun seperti apa yang tersebut dalam ungkapan: Sabbe Dhamma Anatta’, maka kata ‘Dhamma’ dalam ungkapan ini berarti segala sesuatu yang berfenomena maupun tak berfenomena’ (bersyarat maupun tak bersyarat), atau dengan, kata lain segala, sesuatu yang dibuat atau dipikirkan oleh manusia dan segala sesuatu yang ada, adalah disebut “Dhamma”. (Dhammasangani Atthakatha)

b. Aplikasi dan arti Dhamma
1) Dhamma dipandang dari segi psikolosig, mental sebagai elemen konstitusi dari kesadaran dan substratanya, berkaitan dengan fenomena. Itulah yang menjadi obyek imajinasi dan itu pula yang menjadi akibatnya: sebuah penyajian atau ide, atau sebuah fenomena mental (namun berbeda dengan fenomena pikofikal), atau perasaan (sebagai reaksi dari organ perasa pada rangsangan perasaan). Pikiran berhubungan dengan ide-ide, sedangkan mata berhubungan dengan bentuk-bentuk, keadaan ini adalah bentuk abstrak dari pikiran, dari obyek indera yang disajikan oleh organ indera ketika bereaksi terhadap obyek-obyek eksternal , disebut Dhamma.
2) Dhamma dari segi etika-rasional
a. Obyektif rasional, segala sesuatu yang harus terjadi sesuai dengan alasan yang ada dan logis.
b. Subyektif: moralitas, berperilaku baik, kebenaran, dan melaksanakan kewajiban, merupakan dasar dari perilaku yang sesuai dengan definisi ‘Dhamma’ sebagai guna.
c. Sekelompok orang yang telah mendengar ajaran-Nya dan melaksanakan ajaran itu sesuai dengan Dhamma dan Vinaya dinamakan Sangha.
Lebih lanjut, pengertian Dhamma diuraikan sebagai kebenaran, kesunyataan, peraturan tata susila, dan ajaran Sang Buddha. Dhamma juga dapat diartikan yang sangat luas, mencakup tidak hanya benda atau hal yang bersyarat, tetapi juga hal yang tidak bersyarat seperti Nibbana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar