Minggu, 09 Agustus 2009

Doa dan Upacara Pemujaan

Namo Tassa Baghavato Arahato Samma Sambuddhassa

Suatu hari, ketika Sang Buddha berdialog dengan perumah tangga terkemuka bernama Anathapindika, beliau membuat komentar berikut ini terhadap penggunaan doa-doa:
"O perumah tangga, terdapat lima hal yang diinginkan, menyenangkan dan disetujui yang jarang di dunia ini. Apakah kelima hal tersebut? Mereka adalah umur panjang, kecantikan (ketampanan), kegembiraan, nama baik (kemashyuran) dan (tumimbal lahir) di alam surga. Namun, O perumah tangga, diantara kelima hal ini, saya tidak mengajarkan bahwa mereka di peroleh dengan doa (ayacana-hetu) atau berumpah kaul (patthana-hetu).

Apabila seseorang dapat memperoleh kelima hal itu hanya dengan doa atau kaul, siapakah yang tidak akan melakukannya?

Bagi siswa yang mulia, O perumah tangga, yang berharap memiliki umur panjang, tidaklah tepat jika ia harus berdoa bagi umur panjang atau merasa senang melakukan hal itu. Ia seyogyanya lebih baik mengikuti satu jalan kehidupan (Dana, Sila, Bhavana) yang menunjang panjangnya umur. Dengan mengikuti jalan tersebut, ia akan memperoleh umur panjang baik sebagai makhluk surgawi maupun manusia.

Bagi siswa yang mulia, O perumah tangga, yang berharap memiliki kecantikan ... kegembiraan ... kemahsyuran ... (tumimbal lahir) di alam surga, tidak tepat jika ia harus berdoa bagi hal itu atau merasa senang melakukan hal itu. Ia seyogyanya lebih baik mengikuti satu jalan kehidupan (Dana, Sila, Bhavana) yang menunjang kecantikan ... kegembiraan ... kemahsyuran ..., tumimbal lahir di alam surga. Dengan mengikuti jalan tersebut, ia akan (tumimbal lahir) di alam surga."
(Anguttara Nikhaya, Pancaka Nipata No.43)
Diantara semua guru pada jamannya, Sang Buddha dikenal sebagai seorang Kamma-vadin, yaitu seorang yang mengajarkan kemanjuran dan pentingnya perbuatan.

Di dalam doktrin dan ajaranNya, bukan dengan permohonan terhadap kekuatan yang tak terlihat, melalui upacara keagamaan tradisional bahwa seseorang dapat memperoleh manfaat yang diinginkannya; namun mereka harus berpenghidupan benar, baik dari pikiran, perkataan, dan aktivitas jasmani.

Hal ini merupakan dasar ajaran etika Buddha Dhamma. Dalam dunia moderen sekarang, tanapa hal di atas masyarakat berintelegensia cukup tinggi akan mempertanyakan VALIDITAS tindakkan tersebut. Berbagai gejala keraguan dan kemerosotan moral saat ini didasarkan karena kurangnya pengertian akan prinsip sebab akibat moral ini.

Belenggu ketiga dari sepuluh belenggu yang harus dihancurkan sebelum Sotapatti-Magga (tingkat pembebasan pertama) dicapai, adalah Silabbataparamasa, kepercayaan dan kemelekatan akan ritual yang kosong. Di jaman kehidupan Sang Buddha, hal ini berarti ritual yang dilakukan sebagian besar orang jaman itu. Seperti pemujaan api yang dianggap suci (yang disebut sebagai tindakkan sia sia didalam Dhammapada), dan sumpah-sumpah dari para Pertapa ekstrim yang dilakukan oleh Pertapa telanjang dari aliran Nighanta, dan yang lain yang hidup seperti anjing dan sapi.

Silabbhataparamasa juga mencakup persembahan dan pengorbanan kepada para Dewa; yang jauh lebih lama sebelum kelahiran Buddha, dikenal dalam syair dan doa-doa. Sang Buddha yang juga telah mengenal hal tersebut, telah menemukannya sebagai hal yang sia-sia setelah beliau merealisasi pencerahan agung.

Di dalam naskah yang dipetik di atas, beliau bahkan menolaknya sebagai cara untuk memperoleh manfaat duniawi. Guna mengerti posisi yang dia ambil oleh Sang Buddha, sangatlah perlu bagi kita untuk meneliti sifat alamiah doa dan pemujaan secara umum.

Tampaknya, merupakan naluri dasariah di dalam sifat alami manusia untuk berdoa bila di dalam kebutuhan atau stres.

Doa adalah sarana yang dipakainya untuk berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, baik sebagai pembimbing atau untuk menginterversi ke dalam situasi yang dia sendiri, secara individu tak dapat memecahkannya. Kekuatan luar yang bonafit yang dia harapkan, mungkin nyata atau mungkin imajinasi, namun apapun itu, kasus-kasus yang banyak disebarluaskannya adalah yang tampaknya menunjukkan bahwa doanya kadang diikuti oleh hasil yang diinginkan.

Pustaka acuan: Story, F. 1969. Prayer and Worship. Buddhist publication Society, Sri Langka. 33p.

Sumber: Buletin Vihara Dhammasiri Jaya
No: 001
Tanggal: 04 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar